Minggu, 26 Agustus 2012

BRENTI JO BAGATE



Salam Bloger, pas lagi jalan-jalan mampir beli Koran manado post. Eh ada iklan lomba blog, wah lumayan nih sudah lama aku tunggu ajang seperti ini. Eh pas banget judul lombanya “Brenti jo bagate”. Kebetulan tuh di daerah gw di tambah lagi teman-teman seumuran gw senang banget tuh minum-minuman keras yang biasa disebut “bagate”. Bagate mungki biasa kita kenal dengan meminum-minuman keras. Siapa tidak kenal “Cap tikus dan Kesegaran” ? Minuman yang wajib ada saat “bagate” ataupun biasanya disajikan dengan “tola-tola”, sejenis makanan pendamping saat “bagate”. Sampai sekarang aku masih bingung apa itu “Bagate”. Dulu pernah aku kira itu “Bagate” itu mungkin gangguin cewek-cewek biar bisa dijadiin pacar. Sungguh jauh dari pengertian aslinya, maklumlah aku bukan keturunan asli Manado tapi keturunan orang Jawa jadi kadang sering terdapat kata-kata baru walau telah tinggal di manado selama 15 tahun lebih. Dulu orang tua ku sering mengatakan bahwa “Bagate” itu adalah saat kita bermain laying-layang orang manado biasa menyebutnya “falinggir”, kan kalau lagi bermain layang-layang biasanya anak-anak berkata “gate, gate jo kase putus pa dy” ya kata orang tua ku bagate itu dia. Tapi karena pengertian orang tua saya yang menyatakan kata-kata “Bagate” menjadi berarti bermain layang-layang, aku hampir saja terjerumus. Ini disebabkan karena kuarangnya pengetahuan tentang “Bagate”. Karena ku anggap bagate itu bermain layang-layang jadi saat teman ku mengajak “Bagate” ya aku ia.. ia.. saja, eh ternyata saat teman ku memberikan minuman. Saya mulai bingung, kok mau main layang-layang di kasih minuman. Hati kecilku mulai gelisah, saat aku mencium aroma minuman itu ternyata minuman itu beraroma menyengat seperti berbau alcohol. Mulai dari situ saya sudah tau apa itu istilah “Bagate”. Dari kutipan pengalaman saya di atas, saya punya saran sebagai seorang penulis buat para orang tua nih. Sebaiknya sebagai orang tua, kita harus memberikan pengertian tentang “Bagate” bukan malah membohongi anak-anaknya dengan maksud agar anak tidak tau apa itu “Bagate”. Karena anggapan seseorang, bila kita tidak tau maka kita tidak akan mempraktekkannya. Tapi anggapan itu 100% Salah. Mengapa begitu, karena prinsip yang dimiliki anak-anak berbeda dengan anggapan kita. Anak-anak saat ini, memiliki pemikiran berexperimen dan kemauan ingin mencoba sesuatu yang baru . Jadi sebagai orang tua sebaiknya memberikan pengarahan kepada anak-anaknya agar tidak terjerumus ke hal-hal yang tidak baik. Wah lumayan panjang juga kalau kita pengen membahas soal “Bagate”. Tau tidak di daerah yang saya tinggal saat ini, kebiasaan “Bagate” adalah kebiasaan yang biasa, yang bahaya kebiasaan itu dianggap sebagai hal yang normal (wajar-wajar saja). Sungguh ironi sekali, saya tidak tahu bagaimana nasib anak-anak mereka nantinya. Para warga di daerah ini, membolehkan “Bagate” asalkan tidak menimbulkan keributan contohnya “bakuku” atau teriak-teriak mirip orang gila dan “baku tikang” atau yang kita kenal yaitu saling tusuk seperti binatang. Aneh, warga membolehkan orang “bagate” asal tidak mengganngu keamanan dan ketenangan warga ? Tapi kan orang yang “bagate” kan tidak sadarkan diri atau mabuk, lalu bagaimana mereka mengontrol dirinya ? Pakai remot apa ? Sungguh tidak dibenarkan cara seperti ini, namanya “bagate” itu tidak boleh dan hukumnya Haram. Dan harus dihilangkan dari kebiasaan masyarakat Manado. Kebetulan beberapa hari lalu saya sempat mewawancarai masyarakat dan teman-teman, saya yang sering “bagate”. Saya samarkan namanya menjadi EN, SW, AD dan AW. Ya, langsung saja kita simak alasan mereka “bagate”

Petama dari seorang siswi SMA, saya samarkan namanya menjadi SW. Alasannya dia meminum-minuman keras atau “bagate” adalah karena sakit hati. Dia sakit hati karena ditinggal pacarnya yang dia sayangi, jadi dengan cara “Bagate” dia meluapkan emosinya dan sekaligus menunjukan rasa cintanya kepada pacarnya. Pernah dia berharap agar dia mati saat “bagate” agar mantannya itu tau bahwa dia sangat mencintainya. Sungguh ironi, alasan ini sangat tidak dibenarkan. Hanya karena mantan yang sangat dia sayangi sampai dia nekat berbuat seperti ini. Apakah laki-laki di dunia ini hanya dia, sampai dia berpikir seperti ini. Coba bila dia berpikir positif dan mau berubah menjadi lebih baik. Pastinya si mantan akan menyesal telah meninggalkannya. Penyebabnya bukan karena sepenuhnya sakit hati, karena sebenarnya faktor lingkungan adalah penyebab keduanya. Mungkin karena didikan orang tua atau mungkin karena iman yang lemah. Tapi saat ini, orang yang saya maksud diatas telah berhenti “Bagate” setalah saya mengajak dia mengikuti aktifitas dance. Lumayan lah bias memperbaiki kesehatannya.

Kedua saya telah mewawancarai warga sekitar tempat tinggal saya, yaitu saya samarkan namanya menjadi EW. Alasan dia “bagate” karena “bagate” itu, sudah menjadi kegiatan turun-menurun dari keluarganya. Saat saya mendengarnya, saya bisa mengambil suatu kesimpulan bahwa “bagate” itu sudah ada sejak lama. Dia menambahkan, kegiatan bagate bahkan merupakan aktifitas rutin, terutama saat acara “pengucapan”, acara perkawinan, bahkan saat ulang tahun. Kadang aktifitas ini dilaksanakan saat berkumpul bersama teman-temannya. Sungguh dapat dibayangkan bila budaya “bagate” ini terus beredar. Mungkin saja anak-anak yang masih dibawah umur sudah melakukan kegiatan ini sebentar. Mungkin ini salah satu penyebab utama “bagate” biasa tersebar luas. Saat ini saya masih berpikir bagaimna cara memecahkan persoalan ini, karena ini bukan hanya menyangkut perorangan tapi sekaligus kelompok.

Dan narasumber yang terakhir adalah seorang siswa SMK dan sekaligus seseorang yang telah terjerumus ke pergaulan bebas. Saya samarkan namanya menjadi AD dan AW. Kali ini saya sedikit heran, kata mereka “bagate” itu = gaul, kalau anak muda sekarang tidak “bagate” berarti dia itu tidak gaul. Apakah pandangan ini benar ? Kata mereka, sebelum mereka mencoba “bagate” mereka adalah para perokok aktif. Tapi sekarang kebiasaan tersebut mereka tambah dengan “bagate”. Karena aktifitas ini, mereka telah melakukan seks bebas karena terjerumus ke arus pergaulan. Tapi setelah saya bertanya, apakah kalian pernah mencoba narkoba dan sabu-sabu, mereka berkata tidak. Saya kembali bertanya, mengapa kalian tidak mencobanya ? Mereka malah menjawab, mengkonsumsi narkoba dan sabu-sabu hanya buang-buang uang saja, aktifitas ini bukan termasuk kategori gaul tapi melainkan merusak tubuh dan membuat ketagihan. Saat saya mendengarnya, saya sedikit tertawa. Saya kembali bertanya, lalu apakah “bagate” tidak merusak tubuhmu atau tidak membuatmu ketagihan ? Mereka hanya terdiam kebingungan. Anggapan di atas bahwa “bagate” = gaul itu tidak dibenarkan. Menurut saya gaul itu, bila kalian bisa berbaur dengan orang-orang, dan kalian paling dirasa berbeda karena dianggap paling istimewa di dalam suatu kelompok dalam tanda kutip, istimewa di dalam hal yang positif, contoh saja saya. Mencoba memenangkan dan menambah pengalaman dalam dunia bloging. Agar saya terlihat istimewa dibandingkan yang lain. Dari kesimpulan diatas bias disimpulkan bahwa lingkungan pergaulan adalah faktor utama “bagate”. Awalnya dari ngumpul-ngumpul, abis itu merokok, lalu dilanjutin “bagate”. Saat ini kedua orang diatas sudah mulai berubah, dari “bagate” sekarang kebiasaanya hanya merokok saja. Itupun sudah mulai jarang, setelah saya mengajak mereka mengikuti kegiatan-kegiatan rohani.

Dalam kesempatan ini, Polda Sulut menggarap program yang bernama “Brenti jo Bagate”. Suatu program yang diusung oleh Bpk. Brigjen Pol. Drs. Dickiy Atotoy. Program “Brenti jo Bagate” disambut positif oleh masyarakat Sulut terutama di daerah Manado, mengingat kondisi sosial masyarakat yang tidak bisa terlepas dari kegiatan “bagate” sehingga tindakan-tindakan kriminalitas ataupun kecelakaan lalu lintas paling banyak disebabkan oleh para pelaku yang mengkonsumsi minuman keras.

Saya berterima kasih kepada penyelenggara lomba ini, sehingga saya bisa membagi pengalaman dan pengetahuan saya tentang “bagate”. Kesimpulan saya, “bagate” itu dipengaruhi oleh faktor lingkungan (external maupun internal) yaitu lingkungan luar maupun lingkungan keluarga, bisa juga budaya yang dianutu oleh masyarakat sekitar, dan juga dapat dipengaruhi oleh iman seseorang dan keberadaan mental seseorang. Solusinya agar kita terhindar dari kebiasaan “bagate” yaitu dengan cara memperkuat iman, yaitu dengan beribadah dan sering-sering pergi ke tempat ibadah. Dapat juga dengan cara berolahraga, karena dalam jiwa yang sehat terdapat pikiran yang sehat juga. Dan yang terakhir yaitu, mengikuti kegiatan-kegiatan positif seperti, dance, teater, paduan suara, maengket, dan bloging seperti saya. Ada satu lagi, buat yang sering “bagate” sebaiknya kebiasaan tersebut segera dihentikan karena dapat memancing tindakan kriminal dan banyak kecelakaan disebabkan oleh meminum-minuman keras. Bila terus dibenarkan budaya seperti ini, mau jadi apa anak cucu kita ? BERHENTI DAN BERTOBAT adalah cara menyelamatkan ANAK CUCU KITA !!! “SO MUSTI DARI SEKARANG BRENTI JO BAGATE” agar Sulut terkenal karena warganya yang ramah dan karena pariwisatanya bukan terkenal karena istilah “BAGATE”.

0 komentar:

Posting Komentar